Sahabat Bilal menjadi muadzin tetap
selama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi
wasallam hidup. Selama itu pula,
walaupun suara sahabat Bilal tidak
merdu akan tetapi Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat
menyukai suara yang saat disiksa
dengan siksaan yang begitu berat di
masa lalu, ia melantunkan kata, "Ahad!
Ahad! (Allah Maha Esa)"
Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam mengembuskan napas
terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri
untuk mengumandangkan azan,
sementara jasad Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam masih terbungkus kain
kafan dan belum dikebumikan. Saat
Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu
anna muhammadan
rosuulullaahi" (Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah), tiba-
tiba suaranya terhenti. Ia tidak
sanggup mengangkat suaranya lagi.
Kaum muslimin yang hadir di sana tak
kuasa menahan tangis, maka
meledaklah suara isak tangis yang
membuat suasana semakin mengharu
biru.
Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam, Bilal tak sanggup
mengumandangkan azan. Setiap
sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna
muhammadan rosuulullaahi" (Aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah), ia langsung menangis
tersedu-sedu. Begitu pula kaum
muslimin yang mendengarnya, larut
dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu
Bakar, yang menggantikan posisi
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
sebagai pemimpin, agar diperkenankan
tidak mengumandangkan azan lagi,
karena tidak sanggup melakukannya.
Selain itu, Bilal juga meminta izin
kepadanya untuk keluar dari kota
Madinah dengan alasan berjihad di
jalan Allah dan ikut berperang ke
wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu
untuk mengabulkan permohonan Bilal
sekaligus mengizinkannya keluar dari
kota Madinah, namun Bilal
mendesaknya seraya berkata, "Jika
dulu engkau membeliku untuk
kepentingan dirimu sendiri, maka
engkau berhak menahanku, tapi jika
engkau telah memerdekakanku karena
Allah, maka biarkanlah aku bebas
menuju kepada-Nya." Abu Bakar
menjawab, "Demi Allah, aku benar-
benar membelimu untuk Allah, dan aku
memerdekakanmu juga karena Allah."
Bilal menyahut, "Kalau begitu, aku
tidak akan pernah mengumandangkan
azan untuk siapa pun setelah
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
wafat." Abu Bakar menjawab, "Baiklah,
aku mengabulkannya." Bilal pergi
meninggalkan Madinah bersama
pasukan pertama yang dikirim oleh
Abu Bakar. Ia tinggal di daerah
Darayya yang terletak tidak jauh dari
kota Damaskus.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah,
sampai pada suatu malam, Nabi hadir
dalam mimpi Bilal, dan menegurnya,
"Ya Bilal, wa maa hadzal jafa'? Hai Bilal,
kenapa engkau tak mengunjungiku?
Kenapa sampai begini?"
Bilal pun bangun terperanjat, airmata
rindunya seketika tak terbendung lagi.
Segera dia mempersiapkan perjalanan
ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi.
Sekian tahun sudah dia meninggalkan
Nabi. Setiba di Madinah, Bilal bersedu
sedan melepas rasa rindunya pada
Nabi, pada sang kekasih. Penduduk
Madinah yang mengetahui
kedatangannya, segera keluar dari
rumah untuk menyambutnya. Ketika
masuk waktunya sholat, beberapa
Sahabat meminta Bilal untuk
mengumandangkan adzan. Akan tetapi
Bilal terus menolak permintaan itu.
Saat itu, dua pemuda yang telah
beranjak dewasa, mendekatinya.
Keduanya adalah cucunda Nabi, Hasan
dan Husein. Kali ini mereka berdua
yang meminta Bilal untuk
mengumandangkan adzan, "Paman,
maukah engkau sekali saja
mengumandangkan adzan buat kami?
Kami ingin mengenang kakek kami."
Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal
yang kian beranjak tua memeluk kedua
cucu Nabi itu. “wahai cahaya mataku,
wahai dua orang yang sangat dicintai
Rasul, sesungguhnya wajib bagiku
untuk memenuhi keinginan kalian.
Sesungguhnya apabila semua
penduduk bumi memintaku
mengumandangkan adzan, aku tetap
tak akan mau melalukannya. Akan
tetapi, setiap permintaan kalian berdua,
adalah keharusan bagiku untuk
melaksanakannya.”
Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah
jadi Khalifah juga sedang melihat
pemandangan mengharukan itu, dan
beliau juga memohon Bilal untuk
mengumandangkan adzan, meski
sekali saja. Bilal pun memenuhi
permintaan itu. Saat waktu shalat, dia
naik pada tempat dahulu biasa dia
adzan pada era Nabi. Mulailah dia
mengumandangkan adzan.
Saat lafadz "Allahu Akbar"
dikumandangkan olehnya, mendadak
seluruh Madinah senyap, segala
aktifitas terhenti, semua terkejut, suara
yang telah bertahun-tahun hilang,
suara yang mengingatkan pada sosok
nan agung, suara yang begitu
dirindukan, itu telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata "Asyhadu
an laa ilaha illallah", seluruh isi kota
madinah berlarian ke arah suara itu
sembari berteriak, bahkan para gadis
dalam pingitan mereka pun keluar.
Dan saat Bilal mengumandangkan
"Asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah", Madinah pecah oleh
tangisan dan ratapan yang sangat
memilukan. Semua menangis, teringat
masa-masa indah bersama Nabi. Umar
bin Khattab yang paling keras
tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak
sanggup meneruskan adzannya.
Lidahnya tercekat oleh air mata yang
berderai. Setelah itu ia jatuh pingsan
bersama banyak orang yang lain
karena kerinduan mereka akan sosok
Rasulullah SAW.
Hari itu, madinah mengenang masa
saat masih ada Nabi. Tak ada pribadi
agung yang begitu dicintai seperti
Nabi. Dan tidak pernah disaksikan hari
yang lebih banyak laki-laki dan wanita
menangis daripada hari itu. Dan adzan
itu, adzan yang tak bisa dirampungkan
itu, adalah adzan pertama Bilal
sekaligus adzan terakhirnya semenjak
Nabi wafat. Dia tak pernah bersedia
lagi mengumandangkan adzan. Sebab
kesedihan yang sangat segera
mencabik-cabik hatinya mengenang
seseorang yang karenanya dirinya
derajatnya terangkat begitu tinggi.
Beberapa hari kemudian Bilal bin
Rabah jatuh sakit. Saat menjelang
kematiannya, istri Bilal menunggu di
sampingnya dengan setia seraya
berkata, "Oh, betapa sedihnya hati
ini....". Tapi, setiap istrinya berkata
seperti itu, Bilal membuka matanya dan
membalas, "Oh, betapa bahagianya
hati ini..." Lalu, sambil mengembuskan
napas terakhirnya, Bilal berkata lirih:
Esok kita bersua dengan orang-orang
terkasih...
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang
terkasih...
Muhammad dan sahabat-sahabatnya